Kita semua sudah mafhum bahwa satu-satunya yang tak berubah alias
abadi dalam kehidupan hanyalah perubahan itu sendiri. Dari zaman dulu,
hukumnya sudah seperti itu. Yang membedakannya hanyalah dinamika dan
kecepatan perubahan itu sendiri. Daur ulang produk juga semakin pendek.
Barang konsumen yang dulu berganti model setiap tiga tahun, boleh jadi
saat ini sudah berubah bentuk setiap 6 bulanan. Demikian pula, rata-rata
usia perusahaan pada kenyataannya semakin menurun dari masa ke masa.
Sebuah studi bahkan menunjukkan jika di tahun 1960-an, rata-rata usia
hidup sebuah perusahaan yang terdaftar dalam S&P 500 sekitar 61
tahun, maka di tahun 1980-an usianya berkurang menjadi 25 tahun. Dan
saat ini, umurnya pun bahkan menciut lagi menjadi 18 tahun. Betapa cepat
dan dinamisnya gerak perubahan yang terjadi, khususnya dalam peradaban
korporasi!
Suka
tidak suka, perubahan medan pasar yang masif, perkembangan teknologi
baru yang cepat dan hadirnya para pendatang bisnis baru yang sangat
efisien dan berbiaya murah, membuat perusahaan mapan tak bisa santai dan
berlama-lama menikmati kejayaannya. Kembali pada hukum alam
“perubahan”, satu-satunya jalan yang memungkinkan sebuah perusahaan
bertahan dan bertumbuh langgeng adalah melakukan perubahan itu sendiri.
Di dunia korporasi, perubahan ini lazim disebut sebagai transformasi
organisasi.
Seperti dikatakan oleh Charles Darwin, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change
(bukan mereka yang kuat dan digdaya yang akan bertahan hidup,
sebaliknya mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahanlah yang
akan hidup dan bertumbuh langgeng)”, maka kata kunci kelanggengan
organisasi di era perubahan yang dahsyat ini adalah kesiapan menghadapi
perubahan atawa transformasi.
Dalam
jagat korporasi, transformasi acap kali ditafsirkan sebagai proses
“lahir baru”, yang berarti mematikan yang lama dan melahirkan yang baru.
Proses “lahir baru” dalam hal ini bisa diartikan menghentikan
produk/jasa yang ada selama ini, atau bahkan menutup perusahaan itu sama
sekali, dan seterusnya menciptakan produk baru atau bahkan membangun
perusahaan baru lainnya. Mungkinkah kita melakukan keduanya simultan
pada waktu bersamaan, yakni sekaligus melanggengkan yang lama dan
membangun yang baru?
Dalam studinya yang bertajuk Two Routes to Resilience (HBR, Desember 2012), Clark Gilbert
dkk. memaparkan bahwa proses transformasi sebuah perusahaan dapat
menempuh dua jalur perubahan seperti disebut di atas secara bersamaan,
tanpa harus mengorbankan satu dengan lainnya. Lebih jauh, jika dilakukan
dengan tepat, jalur ganda ini (melanggengkan yang lama dan membangun
yang baru) bahkan akan menciptakan sinergi yang mendatangkan manfaat
bisnis yang nyata. Secara ilustratif, Gilbert dkk. menyebut dua jalur
transformasi tersebut sebagai jalur transformasi A dan jalur
transformasi B. Jalur transformasi A adalah perubahan yang dilakukan
dengan mereposisi bisnis inti/utama yang ada sekarang, yakni
menyesuaikan model bisnisnya dengan kondisi pasar yang sedang ataupun
sudah berubah. Sementara jalur transformasi B adalah perubahan yang
dilaksanakan dengan membangun sebuah bisnis yang baru, yang terpisah
dari yang ada sekarang, dan diharapkan menjadi sumber pertumbuhan usaha
di masa mendatang.
Perusahaan mesin fotokopi dan printer
Xerox adalah salah satu contoh organisasi yang berhasil melakukan jalur
transformasi ganda ini. Pada era 1990-an, kompetisi di bidang teknologi
dokumentasi yang begitu dahsyat (khususnya di negara-negara Asia yang
menjadi pasar terbesar Xerox) telah menggerus keuntungan dan pangsa
pasar Xerox, yang terkenal dengan produknya yang komplikatif dan
mahal. Akibatnya, di tahun 2000, mereka membukukan kerugian bersih
sekitar US$ 273 juta, dengan nilai pendapatan US$ 19 miliar. Tak sanggup
menanggung kerugian yang sedemikian parah, perusahaan dipaksa menempuh
jalan perubahan alias transformasi. Secara perlahan tetapi pasti, Xerox
bahkan menempuh jalur transformasi ganda, yakni mereposisi bisnis inti
mereka selama ini sekaligus menciptakan model bisnis yang baru.
Xerox tetap mempertahankan bisnis teknologi dokumentasi mereka, yakni mesin fotokopi dan printer. Bedanya, kali ini mereka membuat mesin fotokopi dan printer
yang lebih sederhana (tidak komplikatif), harga yang lebih terjangkau,
lebih maju secara teknologi dan sekaligus lebih efisien dalam biaya
operasionalnya. Dengan spesifikasi yang technologyly-advanced dan cost- effective, bisnis
teknologi dokumentasi Xerox pun akhirnya bisa bertahan dan bertumbuh
lagi. Sembari mempertahankan bisnis inti mereka, Xerox juga mengakuisisi
sebesar US$ 5,5 miliar atas perusahaan Accelerated Computer Services
(ACS) yang membidangi pengelolaan dan otomasi proses kerja untuk
perusahaan besar. Dengan mengombinasikan kekuatan Xerox di bidang
teknologi dokumentasi dan keahlian ACS di bidang pengelolaan proses
kerja, mereka mendeklarasikan diri sebagai penyedia solusi (solution provider) yang unggul untuk melayani kebutuhan perkantoran perusahaan di seluruh dunia.
Dengan
integrasi dua jalur transformasi di atas, Xerox dapat meningkatkan
efisiensi dengan cara memanfaatkan fungsi tertentu seperti: riset dan
pengembangan, branding dan pemasaran untuk keperluan dua model
bisnis sekaligus, yakni teknologi dokumentasi dan manajemen proses
kerja. Ujung-ujungnya, pada akhir 2011, hasil sinergi dan integrasi
tersebut mendatangkan nilai penjualan total sebesar US$ 23 miliar dengan
keuntungan bersih perusahaan sekitar US$ 1,3 miliar.
Namun,
kita jangan salah paham bahwa transformasi jalur ganda akan otomatis
mendatangkan hasil sinergis dan keuntungan bagi perusahaan. Lagi-lagi
Gilbert dkk. menegaskan bahwa salah satu kunci keberhasilan melakukan
transformasi jalur ganda adalah memiliki kompetensi dan proses yang
memungkinkan dua jalur transformasi itu saling berbagi sumber daya (resource sharing)
tanpa mencampuri urusan operasional masing-masing jalur satu sama
lainnya. Dan, itu berarti perusahaan harus memiliki SDM yang unggul
dengan budaya kerja sama lintas fungsi yang baik. Tak kalah penting,
proses kerja di perusahaan juga harus memungkinkan anggota tim kerja
tersebut melakukan capabilities exchange atau pertukaran
keahlian sesuai dengan kepentingan perusahaan secara cepat. Dengan kata
lain, perusahaan harus memiliki budaya fleksibilitas yang mendobrak
kebiasaan silo yang kaku dan tak tanggap untuk berubah.
Ekuslie Goestiandi, Pemerhati manajemen dan seorang pembelajar
No comments:
Post a Comment