“Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah
orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu
hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta
alam” (QS. al-Muthaffifîn/83:1-6)
PENJELASAN AYAT 1-3 :
Makna muthaffifîn
Kata wail (وَيْلٌ) artinya adzab yang dahsyat di akherat. Ibnu Abbâs
Radhiyallahu anhuma berkata, “Itu adalah satu jurang di Jahannam, tempat
mengalirnya nanah-nanah penghuni neraka.”[1]
Sementara kata التَّطْفِيفُ (at-tathfîf) bermakna pengurangan. Kata ini berasal
dari kata الطَّفِيْفُ yang artinya sesuatu yang sedikit.[2] (Pelakunya-red)
disebut mutathaffif karena tidaklah ia mencuri (mengambil) milik orang lain
melalui proses penakaran dan penimbangan kecuali kadar yang sedikit.[3]
Menurut Ulama Lughah (Bahasa Arab), al-muthaffifûn adalah orang-orang yang mengurangi
takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan menyempurnakannya.[4]
Allâh Azza wa Jalla langsung menafsirkan hakekat muthaffifîn (yang melakukan
kecurangan) dalam ayat kedua dan berikutnya, dengan berfirman[5] yang artinya,
"Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi." (al-Muthaffifîn/83:1-6)
Praktek kecurangan mereka seperti yang diterangkan Allâh Azza wa Jalla , jika
orang lain menimbangkan atau menakar bagi mereka sendiri, maka mereka menuntut
takaran dan timbangan yang penuh dan sekaligus meminta tambahan. Mereka meminta
hak mereka dipenuhi dengan sebaik-baiknya, bahkan minta dilebihkan. Namun
apabila mereka yang menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi
kadarnya sedikit, baik dengan cara menggunakan alat takar dan timbangan yang
sudah direkayasa, atau dengan tidak memenuhi takaran dan timbangannya, atau
dengan cara-cara curang lainnya.
Mereka tidak suka orang lain mendapatkan perlakuan yang sama dengan perlakuan
untuk dirinya (dengan dipenuhi timbangan dan takaran bila membeli).[6]
Orang-orang yang melakukan kecurangan ini terancam dengan siksa yang dahsyat
atau neraka Jahannam.
BAHAYA MENGURANGI TIMBANGAN DAN TAKARAN
Kecurangan tersebut jelas merupakan satu bentuk praktek sariqah (pencurian)
terhadap milik orang lain dan tidak mau bersikap adil dengan sesama.[7] Dengan
demikian, bila mengambil milik orang lain melalui takaran dan timbangan yang
curang walaupun sedikit saja berakibat ancaman doa kecelakaan. Dan tentu
ancaman akan lebih besar bagi siapa saja yang merampas harta dan kekayaan orang
lain dalam jumlah yang lebih banyak.
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Jika
demikian ancaman bagi orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan orang
lain, maka orang yang mengambil kekayaan orang lain dengan paksa dan
mencurinya, ia lebih pantas terkena ancaman ini daripada muthaffifîn.[8]
Tentang bahaya kecurangan ini terhadap masyarakat, Syaikh ‘Athiyyah Sâlim
rahimahullah mengatakan, “Diawalinya pembukaan surat ini dengan doa kecelakaan
bagi para pelaku tindakan curang dalam takaran dan timbangan itu menandakan
betapa bahayanya perilaku buruk ini. Dan memang betul, hal itu merupakan
perbuatan berbahaya. Karena timbangan dan takaran menjadi tumpuan roda
perekonomian dunia dan asas dalam transaksi. Jika ada kecurangan di dalamnya,
maka akan menimbulkan khalal (kekisruhan) dalam perekonomian, dan pada
gilirannya akan mengakibatkan ikhtilâl (kegoncangan) hubungan transaksi. Ini
salah satu bentuk kerusakan yang besar” [9]
PERINTAH MENYEMPURNAKAN TAKARAN DAN TIMBANGAN
Islam dengan kesempurnaan, kemuliaan dan keluhuran ajarannya, memerintahkan
umatnya untuk menjalin muamalah dengan sesama atas dasar keadilan dan
keridhaan. Di antaranya, dengan menyempurnakan timbangan dan takaran. Allâh
Azza wa Jalla berfirman
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu [ar-Rahmân/55:9].
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا
وُسْعَهَا
Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya [al-An’âm/6:152].
Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah mengatakan, “Melalui ayat ini, Allâh Azza wa
Jalla memerintahkan penyempurnaan (isi) takaran dan timbangan dengan adil. Dan
menyatakan bahwa siapa saja yang tanpa kesengajaan terjadi kekurangan pada
takaran dan timbangannya, tidak mengapa karena tidak disengaja”.
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa memenuhi takaran dan
timbangan lebih utama dan lebih baik manfaat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca
yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya
[al-Isrâ`/17:35].
Dalam ayat lain, perintah menyempurnakan takaran mengiringi perintah beribadah
kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebab, pelaksanaan dua hal tersebut berarti
memberikan hak kepada pemiliknya yang tepat, tanpa ada pengurangan. [10]
Orang yang menyalahi ketentuan yang adil ini berarti telah menjerumuskan
dirinya sendiri dalam ancaman kebinasaan. Dan sampai sekarang, praktek ini
masih menjadi karakter sebagian orang yang melakukan jual-beli, baik pedagang
maupun pembeli. Dengan mendesak, pembeli meminta takaran dan timbangan
dipenuhi, dan ditambahi. Sementara sebagian pedagang melakukan hal sebaliknya,
melakukan segala tipu muslihat untuk mengurangi takaran dan timbangan guna
meraup keuntungan lebih dari kecurangannya ini.
Sejarah telah menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Syu’aib
Alaihissallam kepada kaum yang melakukan kebiasaan buruk ini. Nabi Syu’aib
Alaihissallam sudah menyeru kaumnya, suku Madyan (penduduk Aikah), agar
menjauhi kebiasaan buruk itu.
Allâh Azza wa Jalla berfirman.
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا
لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ۚ
إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ
مُحِيطٍ﴿٨٤﴾وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا
تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ
مُفْسِدِينَ﴿٨٥﴾بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۚ
وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ
Dan kepada (penduduk) Madyan, (Kami utus saudara mereka), Syu’aib. Ia berkata,
“Hai kaumku, sembahlah Allâh, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan
janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu
dalam keadaan baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab
hari yang membinasakan (Kiamat)”. Dan Syu’aib berkata, “Hai kaumku, cukupkanlah
takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia
terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi
dengan membuat kerusakan. Sisa keuntungan dari Allâh adalah lebih baik bagimu
jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas
dirimu [Hûd/11:84-86]
Namun kaum Nabi Syu’aib menolak dan mengingkari dakwah beliau. Allâh Azza wa
Jalla mengisahkan mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu menyuruh kamu
agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang
kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami” [Hûd/11:87]
Beliau menjawab: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan
apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan
selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allâh aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah
aku kembali” [Hûd/11:88]
Akhirnya, Allâh Azza wa Jalla menghancurkan mereka dengan siksa-Nya. Allâh Azza
wa Jalla berfirman :
فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَذَابَ
يَوْمٍ عَظِيمٍ
Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka
dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang besar
[asy-Syu’arâ/26:189]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَخَذَتِ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ
جَاثِمِينَ﴿٩٤﴾كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا
Dan orang-orang yang zhalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu
jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya . Seolah-olah mereka belum
pernah berdiam di tempat itu. [Hûd/11:94-95]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ
Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang
bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka [al-A’râf/7:91]
Kurangnya pengetahuan (jahâlah) tentang tata cara berniaga dan berdagang yang
baik dan syar’i merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi praktek
kecurangan dalam takaran dan timbangan (serta perdagangan secara umum). Maka,
menjadi kewajiban orang yang terjun di dunia bisnis (perdagangan) untuk
mendalami fiqh buyû (hukum-hukum jual-beli dan muamalah Islam). Tujuannya, agar
terhindar dari berbuat kecurangan, riba, dusta, kezhaliman dan kehilangan
berkah.
Khalifah ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah memperingatkan, “Orang
yang belum belajar agama, sekali-kali jangan berdagang di pasar-pasar kami”.
Sahabat ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu pernah berkata, “Pedagang bila
(pelaku bisnis) tidak faqih (paham agama) maka akan terjerumus dalam riba,
kemudian terjerumus dan terjerumus (terus)”.
PENJELASAN AYAT : 4
Meskipun orang-orang yang curang dalam timbangan dan takaran itu, telah diancam
dengan siksa, kecurangan itu tetap saja mereka lakukan, Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ
يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.
Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap
Rabb semesta alam
Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Tidakkah orang-orang yang
mengurangi hak-hak manusia dalam timbangan dan takaran itu meyakini bahwa
mereka akan dibangkitkan dari kubur-kubur mereka setelah mereka mati, pada
suatu hari yang sangat penting, dahsyat lagi menakutkan?”.[11]
Tidakkah mereka takut kepada hari kebangkitan dan saat berdiri di hadapan
(Allâh) Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan tertutupi pada
hari yang sangat besar bahayanya, banyak menimbulkan kesedihan, dan agung
urusannya. Barangsiapa merugi, pasti akan dijerumuskan ke api yang
menyala-nyala ?[12]
Kalaupun mereka tidak meyakini adanya hari pembalasan, bukankah lebih baik
menganggapnya ada, kemudian merenungkannya, mencari tahu tentangnya, dan
akhirnya berhati-hati mengambil langkah selamat dengan tidak mengurangi hak
orang lain.[13]
Orang-orang yang melakukan praktek kecurangan (dan para pelaku dosa lainnya)
akan menghadapi hukuman Allâh Azza wa Jalla pada hari itu. Hari yang besar.
Allâh telah menyebutkannya sebagai hari yang besar sehingga menunjukkan
keagungan dan pentingnya hari tersebut. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan
hari itu sebagai hari yang menakutkan, menyengsarakan, meresahkan dan mengiris
perasaan. (Lihat surat at-Takwîr, al-Insyiqâq dan al-Infithâr).
Semua orang akan menghadap Rabbul ‘alamin dari seluruh belahan bumi Timur dan
Barat, dibangkitkan di atas satu tempat yang lapang. Satu hari pada masa itu
sepanjang 50 ribu tahun. Matahari sangat dekat dengan mereka. Tidak ada
pepohonan, bangunan atau apa saja yang bisa dijadikan tempat berteduh, kecuali
naungan dari Allâh Azza wa Jalla yang diberikan kepada orang yang
dikehendaki-Nya. Pada hari yang besar ini, muthaffifûn akan merasakan balasan
hukuman. Hendaknya orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang takut
terhadap hari itu, dan bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla serta memberikan hak
orang lain secara utuh (sempurna). Jika memberi tambahan, maka itu lebih baik.
Hendaknya mereka juga mengambil hak mereka secara utuh, namun jika mau
bertoleransi, maka itu lebih baik. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik
kepada kita.[14]
Di sini, Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyimpulkan bahwa yang mendorong mereka
berani berbuat kecurangan dalam menakar dan menimbang adalah karena mereka
tidak mengimani Hari Akhir. Jika mereka mengimaninya, dan yakin bahwa mereka
akan berdiri di hadapan Allâh k untuk memperhitungkan perbuatan mereka, yang
besar maupun yang kecil, niscaya akan menahan diri dari praktek curang itu dan
kemudian bertaubat darinya.”[15]
PENGARUH AYAT PADA PARA SAHABAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu menceritakan, “Ketika pertama kali Nabi n
datang ke (kota) Madinah, mereka (para penduduknya) termasuk manusia paling
buruk dalam menakar. Kemudian Allâh Azza wa Jalla menurunkan (ayat).
Selanjutnya mereka memperbaiki cara penakaran.” (Riwayat Ibnu Mâjah dan Ibnu
Hibbân dan dishahîhkan oleh al-Albâni).
Al-Farâ` mengatakan, “Mereka menjadi orang yang paling menyempurnakan takaran
(dan timbangan) sampai hari ini.”[16]
CATATAN PENTING
Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullah mengingatkan, “Ayat ini meskipun berhubungan
erat dengan takaran dan timbangan, hanya saja seorang buruh atau pegawai jika
ia menginginkan honornya utuh, namun ia datang kerja terlambat atau pulang
terlebih dahulu, ia termasuk muthaffifin yang Allâh ancam dengan kecelakaan.
Sebab jika gajinya berkurang 1 riyal saja, pasti akan berkata, “Kok kurang?”.
PELAJARAN DARI AYAT-AYAT
1. Ancaman berat bagi orang-orang curang dalam jual-beli (transaksi).
2. Bahaya curang dalam takaran dan timbangan.
3. Kewajiban manusia, memberikan seluruh milik orang lain yang menjadi
tanggungannya.
4. Pentingnya umat memahami agama.
5. Kewajiban menepati akad (menyempurnakan timbangan dan takaran) sudah ada
dalam syariat-syariat sebelumnya.
6. Kenekadan dalam berbuat maksiat bertolak dari tipisnya keimanan orang kepada
Hari Akhir.
7. Semua orang mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia di hadapan
Allâh Azza wa Jalla .
8. Setiap orang harus adil dalam seluruh ucapan dan perbuatannya.
9. Penetapan adanya Hari Akhir, Hari Pembalasan dan Hari Hisab.
10. Agungnya Hari Kiamat, hari manusia berdiri di hadapan Rabbul alamin untuk
memperhitungkan amal hamba dan membalasnya.
11. Pentingnya pembinaan umat berbasis iman kepada Hari Akhir. Wallâhu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment