dakwatuna.com - Banyak istri mengeluhkan suami yang kehilangan romantisme.
Dulu saat masih masa pacaran, tampak sisi romantisme yang membuat mereka
berinteraksi secara intim dan mesra. Demikian pula saat pengantin baru,
sisi-sisi romantisme masih dirasakan. Namun seiring perjalanan waktu, istri
mulai mengeluhkan sikap suami yang cenderung pasif dan kehilangan romantisme.
Interaksi dan komunikasi setelah berumah tangga semakin lama semakin mengalami
penurunan baik kualitas maupun kuantitas.
“Mengapa engkau tidak pernah lagi
memuji dan merayuku? Dulu engkau bisa berlaku romantis, sekarang sudah tidak
bisa lagi”, keluh Mia kepada Bayu, suaminya.
“Kita sudah tambah tua, anak sudah
besar, apa iya disuruh seperti anak muda pacaran yang suka merayu…. Ingat Ma,
kita sudah tidak muda lagi…”, jawab Bayu.
“Apakah pasangan umur empat puluhan
seperti kita sudah tidak layak untuk romantis lagi Pa? Kita ini belum terlalu
tua…” sergah Mia tidak mau mengalah.
Apakah yang terjadi pada Bayu dan
Mia? Sebenarnya ini bukan soal “salah siapa”, namun hanya persoalan perbedaan
khas antara dunia laki-laki dan dunia perempuan. Mereka saling tidak memahami
ada yang berbeda di antara suami dan istri, sehingga menimbulkan suasana saling
heran bahkan saling menyalahkan satu dengan yang lain.
Apa yang Terjadi Pada Suami?
Secara umum, laki-laki cenderung
memiliki “zona nyaman” dalam suatu hubungan. Sebelum memiliki istri, ia
berusaha mendapatkan istri yang ideal menurut standar kelelakiannya, dan untuk
itu ia rela melakukan apapun demi mendapatkan calon pendamping hidupnya.
Seorang lelaki berusaha mengejar dan mendapatkan perempuan yang menarik
dan membuatnya tergila-gila, yang diharapkan menjadi istri. Ia melakukan
berbagai usaha agar bisa mendapatkan perempuan tersebut, walau kadang harus
bersaing dengan banyak lelaki lain.
Namun setelah memiliki istri,
laki-laki mulai memasuki zona nyaman. Ia merasa aman, tidak perlu mengejar atau
melakukan usaha untuk mendapatkan pendamping hidup, karena sudah ada di
sampingnya. Ketika sudah memasuki zona nyaman dalam hubungan, laki-laki merasa
bisa fokus pada hal lain dalam hidupnya tanpa harus memusingkan lagi urusan
mencari pendamping hidup. Ia bisa fokus pada karier, pekerjaan, organisasi,
hobi, dan lain sebagainya, dan yakin bahwa istri juga nyaman berada di
sampingnya.
Pada beberapa kalangan suami, ketika
sedang berduaan dengan istri, tidak masalah bila dia asyik membaca koran,
menonton berita di TV atau bekerja di laptop, dan istrinya pun asyik membaca
buku atau memainkan blackberry. Saling sibuk dan asyik mengerjakan urusan
masing-masing, adalah sebuah kedamaian dan kebahagiaan tersendiri bagi beberapa
kalangan laki-laki. Baginya, itu sudah lebih dari cukup. Maka laki-laki
terkesan berubah menjadi lebih cuek setelah menikah, padahal itu artinya dia
sudah merasa nyaman dan stabil dengan istrinya.
Sikap seperti inilah yang oleh
kebanyakan istri disebut sebagai tidak romantis dan tidak peduli. Di mata
istri, suami kehilangan romantisme setelah berumah tangga, apalagi ketika sudah
menempuh masa yang panjang. Padahal suami merasa tidak ada yang berubah dari
dirinya. Bahkan dia merasa sudah sedemikian nyaman hidup berumah tangga, dan
heran mengapa sang istri masih mencari-cari kekurangannya.
Apa yang Terjadi pada Istri?
Di sisi lain, perempuan
memerlukan “perhatian yang konsisten” dalam suatu hubungan. Istri ingin
diperlakukan secara romantis, sedikit dicemburui, dirayu, dipuji, butuh
bermesraan, dan lain sebagainya. Apalagi bila sebelum menikah dulu si laki-laki
sudah tampak romantis, maka perempuan memiliki ekspektasi yang tinggi
bahwa suaminya akan semakin romantis setelah menikah. Banyak perempuan
menginginkan romance dan drama dalam suatu hubungan, dia ingin melihat suaminya
berusaha membahagiakan dirinya. Bahkan cukup dengan melihat usahanya saja,
perempuan sudah merasa bahagia. Karena itu, ketika sedang berduaan, wanita akan
mengeluh bila suaminya asyik bekerja di laptop atau memainkan blackberry tanpa
mempedulikannya.
Ketika istri sedang berduaan dengan
suami di rumah dan melihat suami sibuk melakukan aktivitas di komputer atau
handphone, istri akan berpikir, “Mengapa aku dicuekin begini? Sudah dia super
sibuk, jarang di rumah, begitu di rumah malah asyik dengan aktivitasnya
sendiri. Mungkin dia sudah tidak sayang lagi padaku….” Padahal yang ada di
dalam pikiran suami adalah, “Ada kamu di sini saja, aku sudah senang. Sekarang
aku bisa beraktivitas dengan tenang….”
Istri berpikir, “Kenapa asyik dengan
laptop atau handphone saat berduaan dengan aku? Kamu kan bisa melakukan itu
saat di kantor. Mengapa engkau tidak peduli kepadaku?” Sementara suami
berpikir, “Kenapa harus nungguin aku yang lagi kerja di laptop? Kamu kan bisa
mengerjakan hal lain, nonton TV, baca koran atau baca buku atau apapunlah yang
menyenangkanmu…”
Apabila berulang kali mengalami
kejadian seperti ini, istri akan mulai mengeluh pada suami. Lama kelamaan
keluhan ini berubah menjadi tuntutan. Tanggapan suami biasanya tersinggung dan
membela diri, karena merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Istri menuduh
suami tidak peka, tidak romantis dan tidak pengertian, sedangkan suami menuduh
istri banyak menuntut dan mencari-cari masalah. Akibatnya pertengkaran pun
terjadi dan saling menyalahkan satu sama lain. Hanya karena keduanya tidak
mengerti kebutuhan pasangannya, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Saling Memahami, Saling Kompromi
Dalam kejadian seperti yang dialami
oleh Mia dan Bayu di atas, sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkan. Keduanya
hanya perlu dilatih dan dibiasakan untuk saling mengerti, saling memahami dan
saling kompromi. Bila Mia dan Bayu sudah mengerti apa yang dibutuhkan
pasangannya, maka solusinya menjadi mudah mereka dapatkan. Yang diperlukan
adalah kesediaan suami dan istri untuk selalu berusaha memahami pasangan, dan
kemudian menentukan titik kompromi yang paling mungkin atas perbedaan yang
terjadi di antara mereka.
Para istri harus mengerti
kecenderungan umum laki-laki dalam mengapresiasi sebuah hubungan, demikian pula
para suami harus mengerti kecenderungan umum perempuan. Mereka berdua akan
lebih mudah menyesuaikan diri, karena mengerti mengapa perbedaan sudut pandang
ini bisa terjadi. Kompromi lebih mungkin dilakukan antara suami dengan istri,
apabila keduanya sudah saling memahami dengan baik keinginan pasangannya.
Contoh kompromi itu adalah, suami
dan istri menyediakan waktu-waktu khusus untuk tidak boleh ada gangguan dalam
hubungan. Misalnya hari tertentu atau jam tertentu, suami dan istri tidak
disibukkan oleh pekerjaan dan aktivitas masing-masing. Bisa duduk,
bercengkerama, bercanda berdua dengan leluasa. Tanpa diganggu handphone,
blackberry, laptop, koran, majalah, TV dan lain sebagainya. Waktu-waktu yang
istimewa dan spesial, di mana mereka bisa leluasa mengobrol dan memperbincangkan
apa saja tanpa diganggu oleh kesibukan masing-masing.
No comments:
Post a Comment