Wednesday, 24 September 2014

Mencintai diri sendiri, salahkah?

Akhirnya Mbah Maridjan meninggal dunia. Ia tak kuasa menahan hantaman panas asap Merapi. Ketika ditemukan, ia berada dalam posisi bersujud. Apakah ini sebuah lambang kesetiaan atau semata-mata kebodohan?
Kepada banyak orang yang menanyakan hal ini kepada saya – baik dalam berbagai seminar dan pelatihan maupun dalam percakapan ringan sehari-hari – saya selalu mengatakan bahwa saya tidak memihak kedua “teori” tersebut. Bagi saya, pilihan yang diambil Mbah Maridjan bukanlah karena kebodohannya, tetapi karena keyakinan yang mendalam mengenai arti cinta dan kesetiaan. Baginya, kesetiaan harus ditunjukkan dengan keberanian menanggung risiko apa pun, termasuk kematian. Bukankah ia telah mendapatkan mandat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjaga Merapi dalam kondisi apa pun?
Jadi, itulah makna cinta dan kesetiaan yang dipahami Mbah Maridjan. Persoalannya, apakah ini makna cinta yang benar? Apakah cinta harus ditunjukkan dengan mengorbankan diri sendiri ketika pilihan untuk menyelamatkan diri terbuka demikian lebar? Lantas, apakah mengorbankan diri sendiri ini membawa manfaat bagi orang banyak? Ataukah jangan-jangan, tindakan ini justru menginspirasi orang lain untuk mempertahankan diri dan mati bersama-sama di sana?
Saya membayangkan seandainya Sri Sultan Hamengkubuwono IX masih hidup, dialah yang akan “memaksa” Mbah Maridjan untuk segera mengungsi. Dialah yang justru akan mengingatkan Mbah Maridjan bahwa tindakan bertahan bukanlah sebuah perwujudan rasa kasih. Kasih bukanlah sesuatu yang buta. Kasih bukanlah kesetiaan tanpa berpikir. Kasih bukanlah melawan hukum fisika dan memilih bertahan hidup di tengah kondisi sepanas apa pun. Kasih bukanlah berarti mengorbankan diri sendiri dengan percuma.
Kasih sesungguhnya adalah sebuah tindakan yang selalu dimulai dengan mengasihi diri sendiri. Bahkan, mengasihi diri sendiri sesungguhnya adalah dasar untuk mengasihi orang lain. Ketika Mbah Maridjan berpikir bahwa ia mengasihi orang lain dengan mengorbankan dirinya sendiri, sesungguhnya tindakan tersebut justru menyulitkannya untuk berlaku kasih. Bagaimana mungkin ia bisa mengasihi orang lain kalau ia telah kehilangan nyawanya sendiri? Bukankah hidupnya akan lebih bermanfaat bila ia menyelamatkan dirinya sendiri untuk kemudian menyelamatkan orang lain?
Kesalahan terbesar dalam memahami kasih adalah asumsi bahwa mencintai diri sendiri itu tidak penting. Bahwa mencintai diri sendiri adalah sebuah bentuk keegoisan. Dan bahwa kita harus mencintai orang lain di atas diri kita sendiri. Konsep ini sering dianggap sebagai konsep yang indah dan mulia. Namun, saya ingin mengatakan bahwa konsep ini keliru dan bahkan akan menyulitkan tindakan kasih itu sendiri. Bukan hanya itu, konsep ini justru bertentangan dengan hukum alam mengenai kasih.
Mencintai diri sendiri sama sekali tidak bertentangan dengan kasih bila kita mencintai dan mementingkan diri kita agar kita dapat lebih mementingkan orang lain. Seorang pilot perlu mengasihi dirinya sendiri dengan cara menjaga kesehatannya, tidur yang cukup, dan makan makanan yang bergizi. Ini penting agar si pilot dapat melayani semua orang dalam penerbangannya dengan lebih baik. Mengurangi istirahat karena kesibukan kerja yang begitu tinggi malah akan membahayakan keselamatan seluruh penumpang.
Seorang ibu yang kurang beristirahat justru akan mengurangi kemampuannya untuk merawat anaknya dengan penuh kasih sayang. Bukankah di dalam pesawat juga selalu dikatakan bahwa orang tua yang ingin menolong anaknya memakai masker haruslah memakai masker terlebih dulu? Coba bayangkan kalau si orang tua belum memakai masker tetapi sudah menolong anaknya. Bisa jadi, ia malah gagal menyelamatkan anak dan dirinya sendiri.
Sebagai fasilitator dan pembicara publik, saya juga sangat menjaga kesehatan saya jasmani dan rohani. Di tengah berbagai kesibukan saya selalu mementingkan makan yang baik, istirahat yang cukup dan waktu untuk berolah raga. Apakah tindakan mementingkan diri sendiri seperti ini bertentangan dengan kasih? Sama sekali tidak. Justru dengan mementingkan diri sendiri ini, saya selalu berada dalam kondisi segar dan bugar sehingga dapat melayani para klien saya dengan sepenuh hati, dengan seluruh jiwa dan raga. Bukankah akan sulit bagi saya untuk melayani orang lain kalau saya sendiri tidak merasa segar dan bugar?
Jadi, dalam cinta berlaku rumus: mencintai diri sendiri mendahului mencintai orang lain. Karena itu, orang yang mencintai orang lain sebelum mencintai dirinya akan sulit melaksanakan cintanya. Karena, bagaimana mungkin kita bisa memberikan tenaga kepada orang lain kalau kita sendiri tak bertenaga?
Tentu saja, ada di dunia ini orang-orang yang kita sebut egois dan mementingkan diri sendiri. Mereka adalah orang-orang yang mencintai dirinya semata-mata untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain.
Ketika Anda tidak mau beranjak dari televisi, padahal anak Anda sedang butuh ditemani, maka Anda disebut orang yang egois. Ketika Anda tidak mau beranjak dari tempat tidur padahal ada tetangga yang berada dalam kondisi darurat dan membutuhkan bantuan, Anda disebut egois. Ketika wakil rakyat kita memilih untuk berjalan-jalan ke luar negeri, menghambur-hamburkan uang rakyat, padahal kita sedang dilanda duka cita yang mendalam karena bencana Merapi dan Mentawai, itulah tindakan yang egois dan sangat bertentangan dengan cinta.
Namun, kalau kita mementingkan diri sendiri agar bisa melayani orang lain dengan lebih baik, itu adalah tindakan yang mulia, sebuah perwujudan rasa cinta dan kesetiaan.
Saya membayangkan Mbah Maridjan akan mengambil langkah yang berbeda seandainya ia pernah mendengar penyanyi favorit saya George Benson melantunkan syair The Greatest Love of All: “Learning to love yourself… is the greatest love of all.”
Seandainya saja. * * *
Arvan Pradiansyah

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates