Akhirnya Mbah Maridjan meninggal dunia. Ia tak kuasa
menahan hantaman panas asap Merapi. Ketika ditemukan, ia berada dalam
posisi bersujud. Apakah ini sebuah lambang kesetiaan atau semata-mata
kebodohan?
Kepada banyak orang yang menanyakan hal ini kepada saya –
baik dalam berbagai seminar dan pelatihan maupun dalam percakapan
ringan sehari-hari – saya selalu mengatakan bahwa saya tidak memihak
kedua “teori” tersebut. Bagi saya, pilihan yang diambil Mbah Maridjan
bukanlah karena kebodohannya, tetapi karena keyakinan yang mendalam
mengenai arti cinta dan kesetiaan. Baginya, kesetiaan harus ditunjukkan
dengan keberanian menanggung risiko apa pun, termasuk kematian. Bukankah
ia telah mendapatkan mandat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk
menjaga Merapi dalam kondisi apa pun?
Jadi, itulah makna cinta dan kesetiaan yang dipahami
Mbah Maridjan. Persoalannya, apakah ini makna cinta yang benar? Apakah
cinta harus ditunjukkan dengan mengorbankan diri sendiri ketika pilihan
untuk menyelamatkan diri terbuka demikian lebar? Lantas, apakah
mengorbankan diri sendiri ini membawa manfaat bagi orang banyak? Ataukah
jangan-jangan, tindakan ini justru menginspirasi orang lain untuk
mempertahankan diri dan mati bersama-sama di sana?
Saya membayangkan seandainya Sri Sultan Hamengkubuwono
IX masih hidup, dialah yang akan “memaksa” Mbah Maridjan untuk segera
mengungsi. Dialah yang justru akan mengingatkan Mbah Maridjan bahwa
tindakan bertahan bukanlah sebuah perwujudan rasa kasih. Kasih bukanlah
sesuatu yang buta. Kasih bukanlah kesetiaan tanpa berpikir. Kasih
bukanlah melawan hukum fisika dan memilih bertahan hidup di tengah
kondisi sepanas apa pun. Kasih bukanlah berarti mengorbankan diri
sendiri dengan percuma.
Kasih sesungguhnya adalah sebuah tindakan yang selalu
dimulai dengan mengasihi diri sendiri. Bahkan, mengasihi diri sendiri
sesungguhnya adalah dasar untuk mengasihi orang lain. Ketika Mbah
Maridjan berpikir bahwa ia mengasihi orang lain dengan mengorbankan
dirinya sendiri, sesungguhnya tindakan tersebut justru menyulitkannya
untuk berlaku kasih. Bagaimana mungkin ia bisa mengasihi orang lain
kalau ia telah kehilangan nyawanya sendiri? Bukankah hidupnya akan lebih
bermanfaat bila ia menyelamatkan dirinya sendiri untuk kemudian
menyelamatkan orang lain?
Kesalahan terbesar dalam memahami kasih adalah asumsi
bahwa mencintai diri sendiri itu tidak penting. Bahwa mencintai diri
sendiri adalah sebuah bentuk keegoisan. Dan bahwa kita harus mencintai
orang lain di atas diri kita sendiri. Konsep ini sering dianggap sebagai
konsep yang indah dan mulia. Namun, saya ingin mengatakan bahwa konsep
ini keliru dan bahkan akan menyulitkan tindakan kasih itu sendiri. Bukan
hanya itu, konsep ini justru bertentangan dengan hukum alam mengenai
kasih.
Mencintai diri sendiri sama sekali tidak bertentangan
dengan kasih bila kita mencintai dan mementingkan diri kita agar kita
dapat lebih mementingkan orang lain. Seorang pilot perlu mengasihi
dirinya sendiri dengan cara menjaga kesehatannya, tidur yang cukup, dan
makan makanan yang bergizi. Ini penting agar si pilot dapat melayani
semua orang dalam penerbangannya dengan lebih baik. Mengurangi istirahat
karena kesibukan kerja yang begitu tinggi malah akan membahayakan
keselamatan seluruh penumpang.
Seorang ibu yang kurang beristirahat justru akan
mengurangi kemampuannya untuk merawat anaknya dengan penuh kasih sayang.
Bukankah di dalam pesawat juga selalu dikatakan bahwa orang tua yang
ingin menolong anaknya memakai masker haruslah memakai masker terlebih
dulu? Coba bayangkan kalau si orang tua belum memakai masker tetapi
sudah menolong anaknya. Bisa jadi, ia malah gagal menyelamatkan anak dan
dirinya sendiri.
Sebagai fasilitator dan pembicara publik, saya juga
sangat menjaga kesehatan saya jasmani dan rohani. Di tengah berbagai
kesibukan saya selalu mementingkan makan yang baik, istirahat yang cukup
dan waktu untuk berolah raga. Apakah tindakan mementingkan diri sendiri
seperti ini bertentangan dengan kasih? Sama sekali tidak. Justru dengan
mementingkan diri sendiri ini, saya selalu berada dalam kondisi segar
dan bugar sehingga dapat melayani para klien saya dengan sepenuh hati,
dengan seluruh jiwa dan raga. Bukankah akan sulit bagi saya untuk
melayani orang lain kalau saya sendiri tidak merasa segar dan bugar?
Jadi, dalam cinta berlaku rumus: mencintai diri sendiri
mendahului mencintai orang lain. Karena itu, orang yang mencintai orang
lain sebelum mencintai dirinya akan sulit melaksanakan cintanya. Karena,
bagaimana mungkin kita bisa memberikan tenaga kepada orang lain kalau
kita sendiri tak bertenaga?
Tentu saja, ada di dunia ini orang-orang yang kita sebut
egois dan mementingkan diri sendiri. Mereka adalah orang-orang yang
mencintai dirinya semata-mata untuk dirinya sendiri bukan untuk orang
lain.
Ketika Anda tidak mau beranjak dari televisi, padahal
anak Anda sedang butuh ditemani, maka Anda disebut orang yang egois.
Ketika Anda tidak mau beranjak dari tempat tidur padahal ada tetangga
yang berada dalam kondisi darurat dan membutuhkan bantuan, Anda disebut
egois. Ketika wakil rakyat kita memilih untuk berjalan-jalan ke luar
negeri, menghambur-hamburkan uang rakyat, padahal kita sedang dilanda
duka cita yang mendalam karena bencana Merapi dan Mentawai, itulah
tindakan yang egois dan sangat bertentangan dengan cinta.
Namun, kalau kita mementingkan diri sendiri agar bisa
melayani orang lain dengan lebih baik, itu adalah tindakan yang mulia,
sebuah perwujudan rasa cinta dan kesetiaan.
Saya membayangkan Mbah Maridjan akan mengambil langkah
yang berbeda seandainya ia pernah mendengar penyanyi favorit saya George
Benson melantunkan syair The Greatest Love of All: “Learning to love yourself… is the greatest love of all.”
Seandainya saja. * * *
Arvan Pradiansyah
No comments:
Post a Comment